PROFIL PONDOK PESANTREN AL-URWATUL WUTSQO BULUREJO, DIWEK, JOMBANG
PROFIL
PONDOK PESANTREN AL-URWATUL WUTSQO BULUREJO, DIWEK, JOMBANG
Sejarah
Pondok pesantren Al-Urwatul Wustqo bermula dari sebuah aktifitas pengajian al-Quran diselenggarakan di sebuah bangunan musholla pada tahun 1946, satu tahun setelah indonesia merdeka, didirikan oleh KH. M. Ya’qub Husein, berlokasi di desa Bulurejo, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Propinsi Jawa Timur. Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqo tidak terlepas dari figur KH. M. Ya’qub Husein selaku pendiri.
Masa kecil KH. M. Ya’qub Husein bernama Soedjoko, saudaranya Soeraton dan Soedjiyon anak dari Soedjono dan Warsinah. Keluarga hidup di lingkungan kebudayaan tradisi Islam adat sebagaimana pada umumnya masyarakat Indonesia pada periode eranya. Indikasi tradisionalitas Islam adat eranya antara lain mengadakan selamatan menyambut datangnya bulan Ramadhan dengan acara megengan, menyambut datangnya lailatul qodar dengan acara maleman, dan berhariraya dengan acara riyayan/ syawalan/ bawalan, walaupun banyak anggota masyarakat yang merayakan ini tidak menjalankan puasa di bulan Ramadhan. Hal ini dikarenakan dakwah para wali dan ulama baru pada tahapitu.
Soedjoko yang selanjutnya menjadi KH. M. Ya’qub Husein, menamatkan sekolah dasar yang saat itu bernama Sekolah Rakyat (SR) di desa Blimbing Kecamatan Gudo, berjarak tempuh sekitar 5 km arah selatan desa Nggebang yang selanjutnya berubah nama menjadi desa Bulurejo, dengan perjalanan kaki setiap hari. Pagi pergi ke Sekolah Rakyat, malam mengaji di rumahnya Haji Amir di dusun Kedaton sebelah desa Nggebang, pulang membawa oncor (penerangan api) karena gelap tanpa ada aliran listrik seperti sekarang.
Haji Amir pawa’an Arab, tinggi, putih, selalu berpakaian jubah dengan tutup kepala kain putuh, berasal dari nenek moyang daerah kulonan (barat) yaitu antara Demak sampai Banten yang bersama para pejuang hijrah ke timur, daerah kekuasaan Mojopahit. Setiap rumah para pejuang ini ditandai dengan menanam pohon sawo sekitar rumah, sebagai kode intelijen menghadapi Mojopahit. Pohon sawo memberikan kode sowwu sufufakum (rapatkan barisan). Haji Amir menghantarkan santri juniornya yang bernama Soedjoko ketika menginjak remaja menjadi santrinya Hadratu Syaikh Hasyim Asy’ari di desa Tebuireng, pendiri Jamiyah Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia dan di dunia, kakek dari KH. Abdurrahman Wahid, kyai yang menjadi Presiden RI ke empat. Pesantren Tebuireng berjarak 3 km arah barat dari desa Bulurejo.
Ketika lulus SR, Soedjono, ontang-ontang desa, orang dongdeng tuan tanah kaya raya di desa Nggebang, berkehendak menghantar anak mbarep idamannya, Soedjoko, untuk melanjutkan sekolah Kristen di Mojowarno yang terkenal maju sejak zaman Belanda, kurang lebih 5 km kearah timur dari desa Nggebang. Ketika berangkat jalan ke utara dari Nggebang, Soedjoko santrinya Haji Amir mbelot dari ayahnya dan berbelok ke barat ke Tebuireng, tidak ke timur arah Mojowarno. Soedjoko mboikot Soedjono, ayahnya, dan tidak mau pulang dari Tebuireng tempat Kiyai Hasyim Asy’ari mendidik agama. Setelah lama nyantri di Tebuireng, Soedjoko diganti nama oleh Hadratu Syaikh Hasyim, kiyai gurunya, menjadi Muhammad Ya'qub. Beliau tetap tidak mau pulang ke tempat Soedjono, ayahnya, kecuali dibuatkan padepokan ibadah yang istilah sekarang disebut Musholla.
Nuruti permintaan anak mbarep kesayangannya, Soedjono menjual sebagian kekayaan berupa sapi sejumlah delapan bentung-bentung (besar-besar) untuk membuatkan Soedjoko / Muhammad Ya’qub sebuah padepokan ibadah yaitu musholla. Dengan Izin Hadratu Syaikh Hasyim Asy’ari, Muhammad Ya’qub yang sudah senior di Tebuireng, pulang dan mengorganisir jam’iyah di desa Nggebang bersama para kawan sejawatnya. Nama Soedjono, ayahnya, diganti oleh Muhammad Ya’qub menjadi Chusen, berikutnya berubah ejaan menjadi Husein.
Keluarga Haji Amir yang sangat religious di dusun Kedaton terpesona dengan kegigihan Soedjoko / Muhammd Ya’qub umur 25 tahun yang nggantheng dan sholeh, berkehendak mengambilnya sebagai menantu, bahkan dinikahkan dengan anggota keluarganya yang masih kecil masih biasa bermain kitiran bernama Maemoenah umur menginjak 11 tahun, putrinya Muhammad Cholil bin Haji Amir Kedaton dan Sulhah binti Haji Ali Mbrangkal, Mojokerto yang dekat rumah keduanya terdapat pohonsawo. Besananantara keluarga ijoan kuwatagamanya dari darah Arab dengan Keluarga dongdeng tuan tanah tapi awam bidang agama kecuali Muhammad Ya’qub sendiri yang mahir dan bukan awam. Maemoenah kelahiran 1932 (yang wafat pada tahun 2022 sebagai Muchsinah, Ibu Nyai Sepuh Pondok UW) dinikahkan oleh keluarganya dengan Muhammad Ya’qub kelahiran 1917 pada tahun 1943 di Zaman Jepang.
Maemoenah masih lari-lari seperti layaknya anak kecil tinggal bersama orang tuanya di Mbrangkal, Mojokerto dan tidak sadar bahwa dirinya sudah dinikahkan. Muhammad Ya’qub, santri senior Kiyai Hasyim, walaupun dalam status nikah, juga tetap di Tebuireng mengajar dengan jabatan mantri guru (kepala sekolah).
Pada tahun 1947 ketika agresi ke satu Belanda di Surabaya, rumahnya Husein beserta Muhammad Ya’qub dan musolla di Nggebang (sekarang Bulurejo) menjadi markas perangnya Muhammad Ya’qub dan para sejawat tantara Hisbullah. Panglimanya bernama Moenasir (Kiyai Munasir Mojokerto), komandan bataliyon bernama panggilan Pak Moh, yaitu keluarganya Hadratu Syaikh Hasyim Asy’ari. Para istri-istri pejuang dari jauh diungsikan di sekitar markas ini, termasuk istri ayahnya Gus Dur, Kiyai Wahid yang berdomisili di Matraman Jakarta, juga diungsikan di Nggebang (yang kelak menjadi Pesantren UW). Konsetrasi perlawanannya adalah markas tantara Belanda di Mojoagung dan gerilya pencurian senjata bedil di kompleks Belanda pabrik gula Tjoekir. Kegiatan hari-harinya adalah berdzikir hizib nasor bersama seluruh pasukan hisbulloh sambil berpuasa menyongsong berangkat perang setiap hari Kamis berangkat ba’da Asar ke Mojoagung pulang pagi.
Ketika perang reda, pada tahun 1948 bulan Mei tanggal 28 jam 8 pagi, pernikahan antar keluarga di tahun 1943 tersebut dicatat dalam Model A, Nomor 509, Soerat Nikah Repoeblik Indonesia dengan nama Jakub Djoko umur 31 tahoen, pekerdjaan Tani beroemah di Buluredjo, Desa/Kampoeng/Kaloerahan Buluredjo, Ketjamatan/Asistenan Diwek, Kawedanan Djombang, Kaboepaten Djombang, Karesidenan Sbaja, dengan seorang isteri/perempuan Maimoenah Perawan, oemoer 16 tahoen, pekerjaan Tani, beroemah di Buluredjo, Desa/Kampoeng/Kaloerahan Buluredjo, Ketjamatan/Asistenan Diwek, Kawedanan Djombang, Kaboepaten Djombang, Karesidenan Sbaja.
Di saat bangsa Indonesia sibuk menghadapi agresi Belanda, organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI) berkhianat membunuh para ulama dan para tokoh pejuang di Madiun dan tempat lain. 31 Oktober 1948, Muso tokoh PKI dieksekusi di desa Niten, kecamatan Sumorejo, kabupaten Ponorogo. Sedangkan MH. Lukman dan Nyoto pergi ke pengasingan di Republik Rakyat China (RRC). Akhir November 1948, seluruh PKI pimpinan Muso berhasil ditangkap, dihabisi, dan seluruh daerah yang semula dikuasai PKI berhasil direbut, antara lain : Ponorogo, Magetan, Pacitan, Purwodadi, Cepu, Blora, Pati, Kudus, dan lainya. Bulan berikutnya, 19 Desember 1948, agresi militer Belanda kedua ke Yogyakarta sampai pulang di tahun1949.
Setelah Belanda pulang dan menyatakan kalah yang ditandai oleh hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) tanggal 23 Agustus sampai 2 Nopember 1949 di Den Haag negeri Belanda, Muhammad Ya’qub kembali pada konsentrasi perjuangan bidang pendidikan, termasuk bersama dengan Kiyai Bashori Alwi Malang berjuang mendirikan Pendidikan Ma’arif di berbagai tempat. Tahun 1949, PKI tetap tidak dilarang. Di Tahun ini, PKI hanya berbenah rekontruksi dan tetap tumbuh berkembang hingga tahun1965.
Awal Januari 1950, Pemerintah RI, dengan disaksikan puluhan ribu masyarakat yang datang dari berbagai daerah antara lain Magetan, Madiun, Ngawi, Ponorogo dan Trenggalek, melakukan pembongkaran 7 (tujuh) “Sumur Neraka” PKI untuk mengidentifikasi para korban. Di “Sumur Neraka” Soco I ditemukan 108 kerangka mayat, 68 dikenali dan 40 selebihnya tidak dikenali. Di “Sumur Neraka” Soco II ditemukan 21 kerangka mayat yg semuaya dapat diidentifikasi. Para korban berasal dari berbagai kalangan ulama dan umara serta tokoh masyarakat.
Di desa Nggebang, umumnya adalah orang abangan, simpatisan dan tokoh PKI, kecuali sebagian kecil yang berjuang bersama Kiyai Ya’qub, yaitu antara lain Wak Salim (Yai Salim), Abdul Lathief (Yai Pa’e Madun), Adnan (Kang Denan), Achwan (Kang Wan), Haji Subhi (Wak Subeki), Masykurin (Pak Kurin). Pejuangan berat bagi Kiyai Ya’qub karena mayoritas abangan, dan minoritas ijoan. Kiyai Ya’qub difitnah sana sini oleh gerombolan PKI lokal, dilarang diba’an bahkan dilaporkan ke koramil dengan berbagai fitnah.
Kiyai Ya’qub ditangkap dan dipenjara dalam sel tanpa jendela udara. Untuk mendapatkan udara lumayan, Kiyai Ya’qub mendekatkan hidung ke arah lobang kecil jalanan tikus di bagian bawah pintu penjara, yang berikutnya mengakibatkan sakit- sakitan di dada selama 12 tahun sampai meninggal dunia di umur 59 tahun. Mengetahui ini, Pak Moh, komandan bataliyon tantara hisbullah, rekanan berjuang Kiyai Ya’qub, menculik camat Diwek, disekap dan tidak dikembalikan kecuali Kiyai Ya’qub dibebaskan. Tak lama kemudian, Kiyai Ya’qub dilepas bebas. Perjuangan berat baik tingkat lokal maupun nasional bagi Kiyai Ya’qub.
Pada tahun 1955, ketika Konstituante sebagai amanat MPRS 1950 yang mengembalikan Indonesia kembali NKRI dari Republik Indonesia Serikat (RIS) bentukan KMB Den Haag, berupaya keras membuat UUD sebagai pengganti UUDS. Kiyai Ya’qub diundang oleh Kiyai Wahid ayah Gus Dur ke Jakarta untuk membantu menjalankan tugas Konstituante tersebut. Akan tetapi dalam perjalanan kereta api baru sampai Semarang, penyakit dada Kiyai Ya’qub kumat, dan kembali ke Jawa Timur, dibawa ke rumah sakit Centrale Burgelijke Ziekeninrichting (CBZ) daerah Simpang, Surabaya, yaitu rumah sakit tantara atas rekomendasi Pak Moh, mantan komandan bataliyon tantarahisbulloh.
Sebelumnya, tahun 1954, ketika politik Indonesia dalam keadaan tidak menentu, negara hanya punya UUD Sementara (UUDS), banyak rakyat dan tokoh tidak loyal kepada presiden Soekarno, maka para kiyai Nahdlatul Oelama (NO) dikumpulkan di Bogor difasilitasi oleh Menteri Agama KH. Masjkur, menyepakati mengangkat Presiden Soekarno sebagai Waliyyul Amri adl-Dloruri bisy-Syaukah (pemimpin yang wajib ditaati oleh rakyat). Deklarasi para Ulama NU ini dibacakan di depan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) yaitu badan embrio dari Majelis Prmusyawaratan Rakyat (MPR) oleh KH. Wahab Khasbullah Tambak Beras Jombang, salah satu pendiri NU. Namun demikian, setelah Konstituante tidak berhasil membuat UUD pengganti UUDS, termasuk Kiyai Ya’qub dalam perjalanan jatuh sakit tidak bisa ikut berpartisipasi dalam perjuangan Konstituante, maka Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 berisi Indonesia kembali ke UUD Tahun 1945.
Fase perjuangan Kiyai Ya’qub berikutnya adalah bertahan di bidang Pendidikan di tengah kemelut PKI. Sayap pemuda Nahdlatul Ulama bernama Gerakan Pemuda (GP) Ansor adalah yang terdepan menghalau langkah makar PKI. Resah sana sini termasuk PKI di Blitar dan Kediri membangkitkan GP Ansor semakin berjaga jaga. Pengurus GP Ansor Blitar rapat dihadiri oleh antara lain Kayubi, Fadhil, Pangat, Romdhon, Danuri, Chudori, Ali Muksin, H. Badjuri, Atim, Abdurrohim Sidik, memutuskan membuat pasukan menghadapi PKI dengan nama Barisan Ansor Serbaguna disingkat Banser. Pencetus nama Banser adalah Fadhil, yang diterima aklamasi.
Aksi-aksi massa sepihak yang dilakukan oleh PKI menimbulkan keresahan warga masyarakat yang bukan PKI. Yang menjadi korban dari aksi-aksi massa sepihak tersebut umumnya anggota PNI, PSI, ex-Masyumi, NU, dan organisasi Muhammadiyah. Aksi-aksi massa sepihak oleh PKI tidak pernah mendapat perlawanan dari anggota partai dan organisasi kecuali dari GP Ansor, yang menunjukkan perlawanan sejak awal1964.
Perlawanan GP Ansor terhadap aksi-aksi sepihak oleh massa PKI tidak selalu dilatari oleh persoalan yang dihadapi warga Nahdliyyin, melainkan dilatari pula oleh permintaan perlindungan dari warga PNI, ex-Masyumi maupun Muhammadiyah. Perlawanan GP Ansor tersebut antara lain peristiwa Nongkorejo, Kencong, Kediri. Pihak PKI didukung oleh oknum aparat antara lain Jaini (Juru Penerang) dan Peltu Gatot, wakil komandan Koramil. Dalam kasus itu, PKI mengkapling dan menanami lahan milik Haji Samur. Haji Samur kemudian minta bantuan GP Ansor. Terjadi bentrok fisik antara Sukemi (PKI) dengan Nuriman (Ansor). Sukemi lari dengan tubuh berlumur darah. Pengikutnya lari ketakutan.
Pecah pula peristiwa Kerep, Grogol, Kediri. Ketika tanah milik Haji Amir warga Muhammadiyah, oleh PKI dan Barisan Tani Indonesia (BTI) diklaim sebagai tanah klobot. PKI dan BTI menanam kacang dan ketela di antara tanaman jagung di lahan Haji Amir. Setelah tidak berdaya, Haji Amir minta bantuan Gus Maksum di pesantren Lirboyo. Puluhan Ansor dari Lirboyo bersenjata clurit dan parang, menghalau PKI dan BTI dari lahan Haji Amir.
Tawuran massal Ansor dengan Pemuda Rakyat pecah di Malang, ketika Karim DP (Sekjen PWI) datang ke kota Malang, dalam pidatonya mengecam kaum beragama sebagai borjuis-feodal yang harus diganyang. Mendengar pidato Karim DP, para pemuda Ansor naik ke podium dan menyerang Karim. Para anggota Pemuda Rakyat membela. Terjadi bentrok fisik. Pemuda Rakyat banyak yang luka.
Dalam tempo singkat, setelah Banser Blitar terbentuk, secara berantai dibentuklah Banser di berbagai daerah termasuk di Jombang. Pada 24 April 1964, Banser dinyatakan sebagai program Ansor secara nasional. Banser dilatih oleh anggota Brimob. Kemudian dilatih oleh RPKAD (Kopasus), Raiders dan batalyon- batalyon terdekat.
Selain dibina oleh militer, secara khusus Banser dibina oleh para kiai dan ulama tarekat dengan berbagai ilmu kesaktian dan kedigdayaan. Di antara kiai yang terkenal sebagai pembina spiritual Banser adalah Kiai Abdul Djalil Mustaqim (Tulungagung), KH Machrus Ali dan KH Syafii Marzuki (Lirboyo, kediri), KH Mas Muhadjir (Sidosermo, Surabaya), KH Djawahiri (Kencong, Kediri), KH Shodiq (Pagu, Kediri), KH Abdullah Sidiq (Jember), dan KH Badrus Sholeh (Purwoasri, Kediri) yang setelah Kiyai Ya’qub Husein wafat, menjadi mertua putrinya yang bernama Prof. Dr. Nyai Istibsjaroh Ya’qub, yang menikah dengan Kiyai Zaimuddin Badrus Sholeh, putra pertama Kiyai Badrus Sholeh.
Perlawanan banser terhadap aksi sepihak PKI meningkat di tahun 1964/5. Kordinasi-kordinasi anggota Banser memobilisasi kekuatan berlangsung sangat cepat dan rapi. Sering terjadi bentrokan-bentrokan fisik antara Banser dan PKI. Pada September 1965, para kiyai termasuk Kiyai Ya’qub mendapat undangan untuk hadir di alun-alun Jombang dalam rangka ulang tahun TNI 5 Oktober 1965. Pada tanggal 30 September, PKI membunuh enam jenderal dan satu perwira dimasukkan ke sumur Lubang Buaya. Tidak lama kemudian, telegram dan siaran RRI beredar, negara dalam keadaan gawat. Semua undangan agar tidak datang di acara peringatan 5 Oktober. Ternyata, pawai udara dengan helicopter berisi bom siap akan menghabisi seluruh kiyai dalam sehari di alun-alun seluruh Indonesia, termasuk alun-alun Jombang. Kiyai Ya’qub adalah salah satu target.
Banser senantiasa berjaga. Mushola yang dibangun oleh Soedjono/Husein ayah Kiyai Ya’qub telah ditingkatkan menjadi Masjid dan difungsikan untuk jamaah sholat Jum'at. Masjid ini menjadi ramai penuh para tokoh PKI nggebang pasca G 30 S/PKI, mengerubungi masjid tidak mau keluar, minta pelindungan Kiyai Ya;qub supaya tidak disembelih oleh Banser. Sebagian sudah ada yang disembelih oleh Banser dari Ndempok di dusun Daton sebelahnya Nggebang/Bulurejo. Kiyai Ya’qub dengan jiwa besar melindungi mereka dari eksekusi oleh Banser, seraya membimbing bertaubat.
Bangunan masjid tersebut mengalami pemugaran yang pertama pada tahun 1955, dan rehab perluasan serambi masjid pada tahun 1965 bersamaan dengan momentum tragedi G-30 S/PKI. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang punya misi merubah Indonesia menjadi negara komunis dengan cara kekerasan. Usaha mereka gagal sehingga berakibat PKI dinyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia berikut berdampak terjadinya pembantaian massal secara nasional terhadap para antek partai terlarang tersebut.
Situasi mencekam terjadi dan berekses pada membludaknya orang yang mencari perlindungan untuk menyelamatkan nyawa dengan tindakan antara lain mendatangi dan berdiam di masjid-masjid, termasuk di masjid Bulurejo. Peristiwa itu menjadi momentum bagi awal ramainya yang datang ke masjid, termasuk untuk sholat Jum'at dimana khutbah Jum'at mempunyai makna penting bagi dakwah Islamiyah.
Kiyai Ya'qub sering bersilaturrohmi ke teman sejawatnya di berbagai desa lain dan mengajak mendirikan masjid-masjid yang arsitektur/ model bangunannya hampir sama. Masjid-masjid tersebut dibangun dalam waktu yang hampir bersamaan dan dipakai untuk pusat dakwah Islamiyah. Masjid-masjid tersebut juga berfungsi sebagai sarana lembaga pendidikan formal Madrasah Ibtidaiyah(MI).
Beliau juga perintis berdirinya lembaga pendidikan Ma'arif tingkat kabupaten. Melalui Lembaga Pendidikan Ma'arif ini beliau mengajak teman sejawat mendirikan Madrasah Ibtidaiyah pada hampir setiap desa, dengan sarana awal masjid maupun rumah penduduk sebagai ruang kelas. Banyak guru agama diupayakan oleh beliau untuk diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Adanya Madrasah Ibtidaiyah pada saat itu sangat penting sebagai langkah kaderisasi da'i dan mengisi momentum kemerdekaan Indonesia. Banyak di antara lulusan MI ini menjadi kiyai yang mendirikan pesantren. Di Bulurejo, KH. M. Ya'qub mendirikan Madrasah Ibtidaiyah (MI) 6 tahun, kemudian tahap berikutnya, pada tahun 1969, beliau mendirikan Madrasah Muallimin 4 tahun ( sekolah guru yang disiapkan untuk mengajar di sekolah-sekolah agama Islam, sebagai lanjutan jenjang MI). Pada tahun 1980, satu jenjang Madrasah Muallimin ini berubah menjadi dua jenjang, yaitu Madrasah Tsanawiyah 3 tahun dan Madrasah Aliyah 3 tahun.
Kiyai Muhammad Ya’qub juga mendirikan pondok Huffadz 1971 di Tebuireng yang sekarang bernama Madrasatul Qur’an (MQ) Tebuireng Jombang bersama delapan kiyai lainnya, yaitu Kiyai Muhammad Yusuf Hasyim(PakUd), Kiyai Idris Kamali (Gus Idris), Kiyai Ahmad Sobari (Yai Sobari Mbogem), Kiyai Syamsuri Badawi, Kiyai Manshur Anwar, Kiyai Mahfudz Anwar (Yai Mahfudz Njombang), Kiyai Cholil Sukopuro, dan Kiyai Adlan Ali (Yai Delan) yang pasca wafatnya, menjadi mertua putri bungsunya Kiyai Ya’qub, Nyai Hj. Siti Titimmatin, S.PdI., M.Pd.I., yang menikah dengan Kiyai Jamiluddin Adlan Ali (Gus Jamil). Mereka berdua sekarang mengasuh Pondok Pesantren Walisongo di Cukir, Jombang, yang didirikan oleh Kiyai Adlan Ali. Sembilan kiyai senior muridnya Almarhum Hadrotu Syaikh Hasyim Asy’ari tersebut di atas mendirikan pondok Khuffadz di lingkungan pondok Tebuireng dan sepakat mengangkat Kiyai Yusuf Mashar menjadi mudir dan pengasuh unit pondok ini, yang sekarang bernama Madrasatul Qur’an Tebuireng.
Pada tanggal 23 Januari 1976, KH.M. Ya'qub Husein wafat dalam usia 59 tahun. Kepemimpinan berikutnya dilanjutkan oleh KH. Drs. Muhamadu Ya’qub, putra pertama Kiyai Ya’qub. Pada periode ini banyak mengadakan pembangunan gedung-gedung, dan rehab sarana fisik. Membangun gedung antara lain bangunan gedung baratnya masjid yang sekarang menjadi MI dan selatan rumah ndalem yang sekarang menjadi pondok putri. Sedangkan rehab fisik antara lain rehab beberapa kali gedung timurnya masjid yang sekarang menjadi M.Ts., dan rehab masjid. Beliau juga berjuang meningkatkan aktifitas madrasah. Kegiatan madrasah semakin maju. Pada tahun 1990 KH. Drs. Muhammadu dipindah tugaskan oleh pemerintah (Departemen Agama RI) di luar lingkungan Pondok Pesantren al-Urwatul Wutsqo. Estafet kepemimpinan diteruskan oleh KH. Drs. M. Qoyim Ya'qub. Pada periode ini, Pesantren mengembangkan kegiatan thoriqoh dan mendirikan unit pendidikan lain bersama-sama dengan saudara saudarinya dalam kapasitas yang berbeda-beda dari lokasi berbeda-beda termasuk mendirikan perguruan tinggi, lembaga -lembaga Pendidikan vokasi, dan asrama pondok putra. Kiyai Haji Muhammad Qoyim Ya’qub wafat tanggal 4 Desember 2020 pada hari Jum’at sekitar subuh.
Dengan demikian, kronologi pergantian pengasuh Pondok Pesantren Al- Urwatul Wutsqo sejak berdirinya sampai sekarang dapat dirangkum sebagai berikut :
1. KH. M. Yaqub Husein (pendiri), tahun 1946 s/d 1976; 2.. KH. Drs. Muhamadu Yaqub, tahun 1976 s/d 1990;
2. KH. Drs. M. Qoyim Ya’qub, tahun 1990 s/d2020
3. KH. Drs. Muhamadu Ya’qub tahun 2021 s/dsekarang
MasyaAllah
ReplyDelete